16 Januari 2009

BILA ASI TERCEMAR PESTISIDA

Category: Other

Peristiwa itu terpatri kuat di benak Ni Luh Kartini. Kala masih duduk di bangku sekolah dasar pada 1971, Luh Kartini senang pergi ke persawahan di Singaraja, Bali . Usia seperti itu adalah usia bermain.

Bahkan ia tak cepat lelah berlari-larian bersama rekan-rekan sekolahnya.Setelah kecapaian dan haus, ia meneguk air yang ada di pematang sawah. Airnya kala itu terlihat jernih. Namun, yang terjadi, ia pingsan. "Saya beruntung tidak meninggal," ujarnya kepada Wayan Bakori dari Gatra. Setelah tersadar ia tak tahu kenapa bisa pingsan setelah meminum air. Yang jelas, sejak saat itu, ia kapok meneguk air mentah dari pematang.

Ketika beranjak dewasa, Ni Luh Kartini baru paham bahwa air yang dia minum kala itu mengandung pestisida. Dampak meminum air pematang itu pun terasa hingga kini. Itu dia rasakan tatkala memberikan air susu kepada tiga anaknya. Terutama pada anak yang paling bungsu. Anak ketiga yang terlahir November 1995 itu tak normal dibandingkan dengan kedua kakaknya.Saat bayi, anak nomor tiga itu kerap sesak napas. Ia juga mengalami tumbuh kembang yang berbeda dengan anak-anak sebaya.

Selain hiperaktif, juga sulit berkonsentrasi. Setiap kali diterangkan atau diajak bicara, kalau tidak karena kemauannya sendiri, ia tak bisa menangkap pembicaraan orang lain.Ni Luh Kartini sempat membawa anaknya ke dokter. "Dia masih beruntung, tidak masuk dalam kategori autis," katanya lega. Sejak itu pula ia menjauhkan anak-anaknya dari makanan siap saji dan rentan tercemar pestisida.Wanita 45 tahun ini yakin penyebabnya adalah pestisida.

Sewaktu mengandung anak ketiga, ia sengaja memeriksakan sebagian air susunya untuk dites di laboratorium. Ternyata ada polutan (residu pestisida) di air susunya, meski tidak sampai 20%.Pengalaman pribadi itu lantas dipresentasikan di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Denpasar kala ia sudah menjadi peneliti pada 1998, atau setahun setelah ia meraih gelar doktor pertanian di Universitas Padjadjaran, Bandung .

Pada saat presentasi, ada seorang wanita warga negara Jerman yang hadir dalam seminar tersebut. Ia minta dites darah dan ASI. Kebetulan ia sedang menyusui. Dari hasil penelitian diketahui adanya kandungan pestisida pada ASI. Wanita itu pun kalut dan memilih kembali ke negaranya segera. Sampai sekarang Luh Kartini belum mendengar kalau wanita tadi kembali ke Bali .

Kerisauan akan bahaya pestisida tehadap ASI dikumandangkan lagi pada saat rembuk publik di Wantilan DPRD Bali, Denpasar. Rembuk itu digelar bersamaan dengan Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim yang digelar di Nusa Dua, awal hingga pertengahan bulan ini. Ahli mikrobiologi pertanian Universitas Udayana, Denpasar, ini menengarai beberapa ASI di seluruh dunia sudah tercemar pestisida.

Ini karena si ibu mengonsumsi produk pertanian yang tidak ramah lingkungan. Seorang ibu akan memberikan 20% racun kepada anaknya lewat ASI. "Bisa kita bayangkan kalau kondisi itu terus berlanjut," ujar dosen tetap di fakultas pertanian universitas tersebut. Maka ia meminta sistem pertanian yang ramah lingkungan dan bebas pestisida harus diprioritaskan.Di dunia, laporan adanya pencemaran pestisida di dalam ASI sudah banyak.

Pada 1990-an, misalnya, ditemukan 83% sampel ASI tercemar dieldrin. Lalu 61% ASI mengandung pestisida heptochlor epoxide.Sebenarnya untuk melihat adanya pencemaran polutan relatif gampang. Bisa dilakukan pengetesan terhadap tanah. Tanah yang sudah terkontaminasi pestisida dalam kurun 15 tahun masih menyimpan kandungan pestisida sebanyak 40%.

Kalau tanah tersebut lalu ditumbuhi tanaman-tanaman yang dikonsumsi manusia, maka polutan akan terhisap pada tanaman tersebut dan dimakan oleh manusia. "Untuk menetralisir tanah yang telah terkena racun, perlu waktu hampir satu generasi umur manusia," katanya.

Efek negatif pestisida terhadap kesehatan sudah dibuktikan dalam banyak penelitian. Dalam jangka pendek barangkali bisa dilihat dari kasus kematian 27 anak sekolah di Filipina pada 2005. Mereka diduga bermain dengan pestisida yang dikira tepung terigu. Itu efek cepat.Bahaya lain akan tampak dalam jangka panjang. Ibu yang mengonsumsi makanan yang tercemar pestisida, bila si ibu memberikan ASI kepada anaknya, maka tubuh si anak akan mengandung pestisida. Lalu anaknya itu akan menularkan lagi pestisida lewat makanan atau ASI dan seterusnya. Kandungan pestisida akan berkurang dan hilang.

Namun apabila si anak tetap mengonsumsi makanan berbahaya, selamanya pestisida tak akan lenyap secara turun-temurun.Bahaya pestisida bisa beragam. Misalnya asetat dari golongan insektisida sering ditemui pada cabe besar, seledri, buncis, dan kapas. Bila tertelan, dalam jangka panjang akan menimbulkan mutasi genetik, kanker, dan keracunan pada alat-alat reproduksi manusia.

Lalu klorden yang sebagian dijumpai pada kentang bisa menyebabkan kanker, cacat lahir, keracunan alat reproduksi, dan mutasi genetik. Beberapa bahan polutan lain bila masuk ke tubuh ibu yang mengandung dan menyusui akan mempengaruhi perkembangan perilaku pada bayi, gangguan hormonal, dan kanker.

Lalu mengapa zat-zat beracun itu bisa terdapat pada ASI? Itu bisa terjadi karena zat-zat pestisida seperti DDT dan klordan akan tersimpan di lemak tubuh dalam jangka waktu lama. Lemak tubuh yang dapat akan berpindah pada saat menyusui. Pada saat itulah polutan ikut terbawa lemak tubuh mudah larut ke payudara. Ia akan tergerus ke luar saat ASI yang berisi plasma darah diisap oleh bayi.

Tapi bisa pula keluar saat ibu mengandung. Lemak tubuh yang gampang terbawa melalui plasenta ke tubuh janin.Saat masuk ke tubuh janin atau bayi, racun tersebut langsung masuk organ otak.

Di otak inilah, zat toksik itu mengganggu perkembangan otak. Pada masa pertumbuhan otak menjadi penting. Tapi karena di otak terdapat zat beracun, pertumbuhan otak beserta organ-organ tubuh lainnya terganggu.Sebenarnya tak hanya ASI yang tercemar.

Pada produk-produk susu lain, seperti susu sapi, pun sudah tampak pencermaran. Pada 1960-an sudah ditemukan 3/4 susu sapi yang dipasarkan ternyata mengandung DDT di Amerika Serikat. Sepuluh tahun kemudian ada kandungan residu dieldrin pada susu sapi dan klordan.Bambang Tridjaja, dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , mengakui bahwa ASI kini sudah dipandang sebagai salah satu zat yang dimonitor kandungan zat polutannya.

Namun ia menegaskan, masalah ini hendaknya jangan hanya dilihat dari luasnya pencemaran, melainkan juga pada level atau kadar pencemaran zat-zat tersebut. Apakah level tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai level toksik atau tidak. "Ini perlu diperjelas agar tidak menimbulkan kepanikan pada ibu-ibu yang sedang menyusui," ujarnya.Sebab, masih kata Bambang, pencemaran tidak hanya terjadi melalui ASI, dapat juga dari makanan yang mengandung toksik dan dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Zat ini berbahaya, karena tak bisa dicerna secara sempurna oleh tubuh.

Sehingga menimbulkan racun.Tingginya zat toksik dalam tubuh juga dapat menyebabkan kelainan reproduksi. Misalnya, kelainan bentuk alat genital, penurunan tingkat fertilitas, dan mutasi genetis. Penelitian pada hewan menunjukkan kelainan tersebut. Dan kemungkinan besar terjadi juga pada manusia.Hal kongkret yang terjadi adalah ada kenaikan tingkat angka kasus hipospadia (kelainan pada lubang kencing) di dunia. "Ditengarai akibat meningkatnya zat polutan sewaktu kecil," ujar Bambang.

Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati[Kesehatan, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 27 Desember 2007]

Sumber : Gatra

0 komentar:

About This Blog

  © Template 'Ladybird' 2008

Back to TOP